Mencermati pemberitaan tentang
guru, entah pengumuman sertifikasi guru, rencana kenaikan gaji guru, dan
tuntutan profesionalitas guru, sungguh menarik dan merupakan topik yang selalu up to date, di tengah gugatan-gugatan
tentang mutu pendidikan kita yang masih belum memuaskan. Di tengah hiruk pikuk
iklan politik, yang menghiasi halaman surat
kabar, dan layer kaca. Di tengah berita kelangkaan pupuk, yang membuat geram
petani kita. Pada kesempatan ini, saya ingin berbagi pikiran, yang mungkin
dapat bermanfaat bagi kita semua.
Sebelumnya,
pada kesempatan yang baik ini, saya ingin mengucapkan selamat kepada para guru
yang telah dinyatakan lulus sertifikasi lewat jalur portofolio tahun 2008 ini.
Ucapan ini tulus dari lubuk hati yang paling dalam, semoga kinerja panjenengan
semua meningkat, seiring dengan meningkatnya penghasilan. Bagi yang tidak
lulus, yang berarti harus mengikuti diklat, yang lamanya 10 hari pertemuan,
saya juga mengucapkan selamat, bagaimanapun juga panjenengan masih beruntung
dibandingkan yang belum terdaftar sebagai peserta sertifikasi guru. Maka
bersyukur adalah kata yang tepat.
Tidak
dapat dipungkiri proses rekruitmen peserta sertifikasi guru (sergur) jalur
portofolio masih terjadi kesemrawutan di sana-sini. Salah satu contoh, ada
beberapa guru yang tidak terdaftar sebagai peserta sertifikasi hanya karena ketlingsut administrasinya. Saya tidak
dalam kapasitas menilai proses tersebut, semoga kedepannya akan berjalan lebih
baik.
Kembali
ke pokok pembicaraan, bahwa sertifikasi dan profesionalitas adalah dua hal yang
berbeda, dan tidak serta merta guru yang telah tersertifikasi ujug-ujug menjadi guru yang profesional.
Apalagi dihubungkan dengan mutu pendidikan kita yang seakan jalan di tempat.
Sungguh naïf, dengan menumpuk beberapa berkas saja sudah mengubah
profesionalitas seorang guru. Tapi saya masih positive thinking saja, ber-khusnudzon
saja, semoga sertifikasi guru menjadi entry
point yang akan mengubah mind set
serta attitude guru.
Profesionalitas
adalah proses yang terus-menerus, suistainable, dan terukur. Guru yang
professional, adalah guru yang mempunyai empat kompetensi, kompetensi
pedagogic, sosial, kepribadian serta kompetensi akademik. Internalisasi empat
kompetensi tersebut, bukan soal yang gampang. Memakan proses, tidak sim salabim
adakadabra. Dari internalisasi kompetensitersebut akan melahirkan attitude dan
sosok guru yang professional.
Menurut UU No
14/2005 tentang guru dan dosen, termaktub dalam pasal 1 ayat 4, dijelaskan
bahwa profesinal adalah pekerjaan yang menjadi sumber penghasilan dan
memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang memenuhi standar mutu atau
norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi. Dengan amat jelas disebutkan memerlukan pendidikan profesi.
Bagaimana cara
mencapainya? Dengan portofolio? Kita pasti mempunyai jawabannya. Silahkan
simpan jawaban tersebut di dalam hati kita saja. Menurut kaca mata saya, saya
menganggap portofolio merupakan emergency
exit, jalan pintas yang menyederhanakan persoalan besar. Sama halnya dengan
kebijakan pemerintah yang katanya ingin mengentaskan kemiskinan dengan Bantuan
Langsung Tunai (BLT) yang sering diplesetkan menjadi bantuan langsung telas. Apakah kebijakan tersebut menyejahterakan
guru? Jawabannya YA. Apakah kebijakan tersebut meningkatkan mutu pendidikan? Wallohu’alam.
Pendidikan Sertifikasi Guru
Coba bandingkan
dengan ritual yang saya alami selama satu tahun di Jember, yang sama-sama pada
akhirnya (hanya) selembar sertifikat. Dengan model sertifikasi lewat jalur
pendidikan biayanya luar biasa besar yang dipikul pemerintah. Saya mendapatkan
tunjangan hidup, biaya buku dan lain-lain, yang kalau diuangkan jumlahnya
puluahan juta rupiah. Bayangkan jika menggunakan model sertifikasi yang seperti
saya alami, berapa cost yang harus ditanggung pemerintah, luar biasa besar
jumlahnya. (jer basuki mowo beyo).
Ketika
pembahasan undang-undang No 14/2005 digelar, pemerintah sebetulnya mengajukan
sertifikasi model jalur pendidikan. Tetapi dengan berbagai pertimbangan (biaya)
akhirnya dipilihlah jalur portofolio. Saya beruntung dapat mengikuti
sertifikasi lewat jalur pendidikan, karena hanya diikuti sedikit orang guru.
Dan kabar terakhir yang saya dengar, model ini adalah pilot project, yang
nantinya setiap lulusan LPTK, wajib menempuh pendidikan seperti saya dengan biaya
sendiri, jika ingin menjadi guru. Hanya dua angkatan yang mengikuti pendidikan
seperti saya.
Sedikit
pengalaman saya mengikuti pendidikan profesi (sergur lewat jalaur pendidikan)
akan saya paparkan di sini. Selama mengikuti program ini, saya dan teman-teman
saya disadarkan bahwa ternyata apa yang kita lakukan selama menjadi guru,
memiliki banyak kekurangan. Kami diajak berpikir mengenai sosok guru ideal
seperti yang diamanatkan dalam undang-undang. Sertifikasi guru jalur pendidikan
lebih mirip dengan perkuliahan lazimnya. Perbedaannya setiap hari kami disodori
berbagai kasus, dan kami diminta untuk memecahkan dalam bentuk karya tulis.
Melelahkan memang, tapi dari sinilah perbedaan saya dengan guru tersertifikasi
bukan lewat jalur pendidikan.
Long life education, menjadi kata yang
tepat. Bahwa tidak ada kata berhenti untuk belajar. Walaupun kita sudah menjadi
guru, kita jangan puas dengan apa yang telah kita miliki.
Di akhir program
kami menempuh kegiatan Pemantapan Kemampuan Mengajar (PKM). Kami dikirim ke
sekolah untuk bereksperimen dan mengimplementasikan berbagai teori yang kami
dapatkan. Disamping itu, kami juga harus menuliskan kegiatan belajar mengajar
dalam bentuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK).
Dengan sedikit
paparan saya di atas, panjenengan bisa melakukan komparasi, dua jalur
sertifikasi, yakni jalur pendidikan atau portofolio. Bukan untuk men-judge. Banyak teman-teman saya yang ikut
portofolio dan lolos, mempunyai kompetensi yang tidak diragukan. Mereka guru
aktifis, yang sering mengikuti lomba keberhasilan guru, dan meraih juara di
tingkat nasional. Mereka penulis-penulis handal, pemikir-pemikir kritis, anti
kemandegan, selalu berkarya dan terus berkarya.
Berbicara
masalah mutu pendidikan, kita tidak bias melepaskan dengan system. Diseberang sana ada guru, ada
kurikulum, ada LPTK, ada masyarakat. A historis namanya, jika kita memotret
mutu pendidikan kita, hanya pada saat sekarang saja. Perjalanan bangsa ini,
silih bergantinya pemerintahan, mewarnai merah hitamnya pendidikan kita.
Kebijakan suatu pemerintahan terhadap pendidikan berbanding lurus dengan mutu
pendidikan. Pendidikan, merupakan proses yang panjang bukan instant, investasi
yang mahal, dan tidak bisa dipanen setahun dua tahun. Kebijakan hari ini, baru
bisa dirasakan sepuluh atau duapuluh tahun ke depan.
Mutu
pendidikan memang tidak dapat dilepaskan dari guru, karena memang gurulah yang
menjadi ujung tombak pendidikan. Kualitas guru akan berbanding lurus dengan
kualitas pendidikan, saya yakin penyataan tersebut akan diamini siapapun.
Apakah berarti bahwa mutu guru kita sekarang ini memprihatinkan sejajar dengan
mutu pendidikan? Silahkan simpulkan sendiri.
Untuk
meningkatkan mutu guru, pemerintah sudah melakukan berbagai macam program, yang
berupa diklat-diklat, yang diharapkan dapat meningkatkan guru. Sekali lagi
untuk meningkatkan mutu guru. Yang pada gilirannya harapan pemerintah mutu
pendidikan akan terangkat. Kenyataannya? Semua tahu jawabannya. Ada apa ini?
Saya
pernah diskusi dengan teman-teman guru, bagaimana meningkatkan mutu pendidikan
kita. Jawabannya, naikkan gaji guru, menjadi minimal 5 juta rupiah. Apakah mutu
pendidikan akan meningkat? Tunggu 5 sampai sepuluh tahun lagi. Lho kok. Aneh
kok lama sekali? Piye to? Ya, karena
harapannya, profesi guru harus sejajar dengan profesi-profesi lainnya.
Harapannya, anak-anak kita yang the best
dan number one, akan mempunyai
cita-cita menjadi guru. Profesi guru akan menjadi pilihan, bukan sortiran.
Sudah menjadi rahasia umum, bahwa mahasiswa yang memilih fakultas keguruan,
adalah mahasiswa yan tidak begitu pandai, cukupan saja. Mereka mendaftar
fakultas keguruan sebagai pilihan paling bontot. Logis, jika mutu pendidikan
kita gini-gini aja.
Ditangan
merekalah diharapkan perubahan akan tejadi. Guru yang cerdas, karena mereka
berasal dari bibit unggul. Mereka bangga menjadi guru, karena menjadi guru
bukan pilihan terakhir. Guru menjadi profesi yang menjanjikan, sehingga
anak-anak pintar tidak ragu dan malu menjadi guru. Mungkinkah? Jawabannya
mungkin sekali.
Di
harian Suara Merdeka pada tanggal 22 Oktober 2008 yang lalu di muat berita yang
menggembirakan bagi guru, walaupun memancing berbagai reaksi. Gaji guru akan
dinaikkan 100%. Sebagai seorang guru saya senang dengan berita tersebut. Dan
mudah-mudahan dapat terealisasi.
Guru
adalah profesi yang dinamis, tidak mandeg. Ilmu pengetahuan selalu berkembang,
dan guru harus selalu mengikuti perkembangan tersebut. Guru perlu sekolah untuk
meng-update ilmunya. Guru perlu mengembangkan ketrampilan serta metoda
mengajarnya, dan lain-lain yang semua itu juga memerlukan dana yang tidak
sedikit. Saya yakin masyarakat dapat memahami jika guru gajinya lebih. Dan
hasil diskusi dengan teman-teman saya tersebut menjadi kenyataan.
Sekali
lagi, pendidikan yang bermutu, membutuhkan guru yang bermutu pula. Pendidikan
yang bermartabat, komponennya guru yang bermartabat pula. Gampang diucapkan
tapi sulit diimplementasikan. Sulit bukan berarti tidak mungkin.
Saya
akan mengutip perkataan kaisar Jepang ketika kalah perang dunia ke dua, yang
ditanyakan bukan berapa jumlah pajurit yang tersisisa, tetapi berapa guru yang
masih hidup. Dan terbukti, Jepang tahun 1945 hancur, tahun enampuluhan sudah
mengekspor mobil. Hanya butuh waktu kurang dari 25 tahunan, Jepang bangkit.
Maju
mundurnya sebuah bangsa bukan diukur dari usia sebuah peradabannya. Mesir
sebagai contohnya yang peradabannya telah lahir ribuan tahun yang lalu.
Bandingkan dengan Jepang, bandingkan dengan Australia. Bukan pula di ukur dari
kecerdasasnnya. Yunani melahirkan banyak pemikir. Tetapi sekarang tertinggal
dengan bangsa-bangsa lain. Kuncinya adalah attitude
sebuah bangsa.
Demikian
pula dengan guru, attitude adalah
kuncinya. Semoga bermanfaat dan tidak menyesal karena telah menjadi guru.
Selamat berkarya, mari kita menjadi guru yang bermartabat.